Sabtu, 15 Februari 2014

TANAMAN BERACUN : BINTARO DAN OLEANDER



Bintaro (Cerbera manghas), merupakan bagian dari ekosistem hutan mangrove sehingga sering digunakan untuk tujuan penghijauan karena tingginya bisa mencapai 12 meter. Tetapi penanaman pohon Bintaro sebagai peneduh kota seperti di kota Jakarta seharusnya dipertimbangkan kembali, karena masyarakat umum tidak mengetahui bahwa getah bunga dan buah Bintaro beracun.
Bunga dan buah Bintaro mengandung cerberin, suatu glikosida yang sangat berpengaruh dan dapat mempengaruhi kerja jantung. Karena itu  jaman dahulu racun Bintaro digunakan bunuh diri atau membunuh orang.  Getah bintaro juga digunakan sebagai racun panah untuk berburu.
Oleander atau pohon mentega. dan pohon Bintaro mengandung racun sangat berbahaya. Jika getah yang terkandung di dalamnya mengenai luka tubuh manusia dapat menyebabkan kelumpuhan.
Oleander Nerium juga termasuk bandel, walau daunnya berwarna hitam bak jelaga karena terkena asap knalpot kendaraan, dia tetap berbunga. Sedangkan pohon Bintaro tetap menghasilkan bunga dan berbuah dengan warnanya  merah memikat.
Oleander Nerium banyak ditanam di depan rumah warga karena penjual tanaman hias banyak  menjajakannya. Mungkin karena mudah diperbanyak. Tanaman Bintaro dan Oleander Nerium  dapat distek  dengan tingkat keberhasilan tinggi.
Sebagai tanaman obat, daun Oleander Nerium dalam dosis kecil dapat digunakan sebagai obat jantung, diuretika, antiskabies, herpes, antibakteri, antijamur, dan ekspektoran. Tetapi tetap harus digunakan dengan bijaksana karena mengandung zat kimia  bersifat toksik.
Karena itu tanaman-tanaman tersebut berkhasiat juga sebagai pestisida alami. Buah bintaro yang sudah jatuh ketanah dapat digunakan untuk mengusir tikus dengan cara menaruhnya di tempat-tempat  strategis.
Asal jangan lupa, setiap selesai memegang buah bintaro kita wajib mencuci tangan dengan sabun. Biji buah bintaropun konon bisa diolah sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah.

Minggu, 09 Februari 2014

Nama danau terpannnnnnnjaaaaaannnnng di dunia



Bisakah Anda Membaca Nama Danau Terpanjang di Dunia?
Selasa, 08 Oktober 2013 12:00

Vemale.com - Anda pernah pergi ke danau? Pesona danau yang indah dan tenang memang menjadi tujuan wisata bagi banyak orang di dunia. Beberapa dari mereka pergi ke danau karena hobi memancing. Tapi tahukah Anda kalau di Amerika ada danau dengan nama terpanjang yang sulit diucapkan?
Orang-orang lebih suka menyebut danau indah ini dengan nama Danau Webster. Danau cantik ini memang berlokasi di kota Webster, Massachusetts, Amerika. Nama asli danau ini sangat sulit dan rumit lho ladies. Tidak percaya? Nama danau ini sebenarnya adalah Chargoggagoggmanchauggagoggchaubunagungamaugg.
Nama danau yang terlalu panjang ini memang menyulitkan orang dalam membaca, mengeja atau mengingatnya. Namun nama danau ini juga pada akhirnya membuat banyak orang penasaran dan pergi ke sana. Danau ini memang mempunyai banyak julukan karena nama aslinya yang terlalu panjang. Julukan itu antara lain Chabanaguncamogue, Chaubanagogum, dan Chaubunagungamaug seperti yang dilansir oleh Merdeka.com (8/10).

Arti dari nama Chargoggagoggmanchauggagoggchaubunagungamaugg itu sendiri adalah 'Orang Inggris di Manchaug di tempat memancing di perbatasan'. Ketiga julukan danau tersebut juga memiliki arti yang kurang lebih sama yaitu 'Fishing Place at the Boundary' atau dalam bahasa Indonesia, Tempat memancing di perbatasan'.
Dulunya danau ini sering dijadikan sebagai tempat pertemuan suku Indian Nipmuck dan kerabat mereka. Seorang pria Inggris bernama Samuel Slater mulai mengoperasikan sebuah pabrik di desa Manchaug. Kemudian orang-orang Indian yang tinggal di daerah tersebut mulai memanggil danau itu dengan sebutan Chargoggaggoggmanchoggagogg, yang berarti "Orang Inggris di Manchaug". Awalnya nama danau ini hanya Chargoggagoggmanchoggagogg dan seseorang menambahkan Chaubunagungamaug yang identik dengan suku Indian.
Jika Anda tertarik mengunjungi tempat ini, jangan lupa berlatih mengucapkan nama danau ini dengan benar ya.

Tas Laptop handmade Taqilla & Hirakedre




Senin, 1 November 2010 | 09:42 WIB
KOMPAS.com — Membawa komputer jinjing, laptop, notebook, netbook, dan sejenisnya dalam tas pundak atau punggung berbentuk kotak dengan warna hitam kini sudah bukan zamannya. Tak mau kalah dengan tas tangan yang berfungsi sebagai salah satu aksesori dalam berpenampilan, tas laptop pun kini semakin modis.
Model yang muncul saat ini bahkan bisa menyamarkan bahwa tas dengan label Taqilla dan Hirakedre, misalnya, adalah tas laptop. Inilah yang menjadi daya tarik bagi konsumen, terutama kalangan perempuan.
Produk tas laptop dari Taqilla desainnya tampak seperti tas tangan bermerek dengan kesan elegan. Label yang didirikan Myrna Munadi tahun 2007 ini juga menyediakan tempat telepon seluler dan kamera. Myrna bahkan telah mendesain tempat untuk iPad.
Secara garis besar, desain Taqilla terkesan sederhana. Tak banyak kain kanvas, kulit asli, atau kulit imitasi yang bermotif, kecuali motif garis-garis dan kotak-kotak di beberapa model. Detail tas hanya terlihat dari kancing yang berfungsi juga sebagai aksesori pemanis.
Namun, untuk memenuhi selera pasar yang berminat dengan desain bermotif, Taqilla juga memiliki tas dengan motif etnik, termasuk yang terbuat dari tenun yang tengah dalam proses produksi.
Pemakaian bahan suede yang halus di bagian dalam menjadi perlindungan agar laptop tidak tergores. Sementara itu, lapisan busa di antara suede dan bahan yang dipakai untuk lapisan luar menjadi penahan terhadap air.
Taqilla merancang tas berdasarkan fungsinya. Ada jenis tas laptop untuk membawa laptop dan perlengkapannya, tas dengan kompartemen untuk laptop di dalamnya yang bisa memuat benda lain, dan tempat yang dikhususkan untuk memuat laptop. Awalnya, model-model Taqilla didesain dengan target pasar perempuan pencinta mode yang selalu membawa laptop.
”Perempuan selalu mencari perpaduan aksesori, seperti tas dan sepatu yang pas dengan baju. Karena tas laptop pada beberapa tahun lalu masih seragam, berwarna hitam dan terkesan maskulin, saya melihat ada celah belum tergarap,” kata Myrna.
Pada perkembangannya, permintaan pun datang dari kaum laki-laki, hingga beberapa model dibuat agar cocok dipakai mereka, seperti model bernama Skiro. Jenis tas pundak ini terbuat dari kanvas yang ditutup kulit berwarna coklat polos.
Label lain, yaitu Hirakedre, menciptakan tas laptop modis yang berkesan rame. Tas yang diproduksi di Cimahi, Jawa Barat, ini bercirikan perca warna-warna kontras sebagai detail.
Dengan target pasar yang beragam, mulai dari anak sekolah hingga pekerja kantoran, Hirakedre merancang motifnya beragam, mulai dari motif-motif abstrak sampai yang terinspirasi oleh alam, seperti bunga, rumah, daun, atau pohon.
Sebagai pembeda dari tas laptop lain, Hirakedre juga mendesain tas dari kain bermotif di bagian dalam, yaitu dari katun dengan motif garis-garis.
”Awalnya sempat ada yang polos, tetapi sekarang dibuat bermotif karena ternyata konsumen memang lebih suka bagian dalam tas yang bermotif,” kata Rooswhan Budhi Utomo, main dealer Hirakedre untuk wilayah Depok.
Bahan bagian luar tas beragam, seperti denim, kanvas, dan katun. Untuk menjaga laptop dari benturan, tas diberi busa jenis polyfoam dengan ketebalan 4-8 milimeter, tergantung ukuran tas. Semakin besar tas, semakin tebal busa yang digunakan. Busa tersebut berfungsi melindungi isi tas dari air agar tidak terserap ke dalam.
”Jadi, seandainya tas terkena hujan, hanya bagian luar yang basah. Air tidak akan ke dalam karena polyfoam tidak menyerap air,” ujarnya.
Bagian dalam tas terdiri dari tempat laptop pada satu sisi dan tempat charger, CD, mouse, serta mousepad di sisi lainnya. Dengan bentuknya yang tipis, tas ini memang benar-benar berfungsi sebagai tas laptop serta perlengkapannya, bukan tas biasa yang dilengkapi tempat menyimpan laptop.
Cantik
Di pasar internasional, ada tas laptop bermerek Maddie Powers yang desain luarnya berupa gambar dari sampul majalah dan novel yang beredar pada tahun 1940 hingga 1950-an, dengan ciri gambar perempuan-perempuan cantik.
Di situs resmi produk terebut, www.maddiepowers.com, tas yang sebagian besar berjenis tas pundak ini bahkan diminati beberapa artis Hollywood, seperti Jessica Simpson, Lindsay Lohan, Mandy Moore, dan Sarah Jessica Parker.
Sementara itu, seorang pemilik blog tentang tas bernama Kate menciptakan tas laptop yang inspirasinya berasal dari tas yang biasanya dibawa saat bepergian jauh menggunakan kereta api atau pesawat.
Meski awalnya tas yang diproduksi perusahaan Rainebrooke ini didesain untuk laptop berukuran 15 inci, pada kenyataannya tas bernama Funchico (fun, chic, and cool) tersebut bisa memuat laptop 17 inci.
Bagian dalam tas yang berfungsi untuk menyimpan laptop bisa dilepas. Hal ini memudahkan saat laptop harus dikeluarkan untuk pemeriksaan di bandar udara.
Kantong-kantong di bagian dalam tas yang terbuat dari wol tebal ini berfungsi untuk menyimpan peralatan elektronik, seperti ponsel, iPod, kamera kecil, dan dokumen. Cara membawanya bisa dijinjing atau diselempangkan di pundak.

House of Leather - Bandung



Senin, 1 November 2010 | 08:06 WIB
KOMPAS.com - Untuk mencapainya harus melewati sebuah gang sempit di kawasan Cikutra. Dari salah satu rumah yang letaknya berdempetan inilah kerajinan tas kulit asal Bandung diproduksi untuk memenuhi permintaan ke berbagai kota di Indonesia.
Ruang tamu merangkap ruang pajang itu tidak terlalu luas. Di kiri dan kanan tembok terdapat rak-rak yang berisi deretan tas dengan pilihan warna beragam. Satu model tas biasanya terdiri atas tiga sampai empat warna.
Sekilas pandang, ruangan itu didominasi tas untuk perempuan. Meskipun ada beberapa pasang sepatu pria sebagai ”pemanis” yang diletakkan di rak paling bawah.
Memang, produk utama dari industri rumahan bernama ”House of Leather” (HoL) ini adalah tas wanita. Untuk pelancong yang senang bertandang ke Bandung, gerai milik Ade Kusmana ini sudah menjadi salah satu ”detewe”, alias daerah tujuan wisata. Mungkin karena kualitas produknya yang memadai dengan harga terjangkau. Samakan kulitnya halus, jahitannya rapi, dan modelnya trendi.
Datanglah pada jam makan siang. Ruang pajang itu mulai dipenuhi pengunjung yang semuanya ibu-ibu yang sedang menikmati jam istirahat kantor. Ada yang sekadar mencari tahu apakah produk terbaru sudah dikeluarkan, ada yang menagih pesanan, juga yang langsung melakukan transaksi selusin sekaligus. Mungkin untuk dijual kembali.
Sistem yang dipakai HoL adalah jual putus. Artinya, pembeli yang ingin menjual kembali, termasuk dengan menempelkan merek di tasnya, dipersilakan saja. ”Kami hanya menerapkan harga dasar, yang berkisar dari Rp 200.000 sampai Rp 600.000, tergantung model tas,” kata Deden Sudiana, salah satu karyawan House of Leather.
Sistem penjualan seperti itu membuat produk industri rumahan ini menjadi incaran sejumlah pebisnis ritel yang memiliki akses ke mal-mal di kota besar, ataupun yang memiliki gerai pribadi. ”Lha, saya aja tahunya dari adik saya yang di Pekanbaru. Dia membeli di sana harganya Rp 400.000 dan laku banget. Terus dia bilang pusatnya ada di Bandung. Harganya bisa separuhnya,” kata Yani, yang siang itu sibuk mengumpulkan tas model kantong dari bermacam warna.
Pembeli lainnya juga mengaku tas asal HoL ini bisa dihargai tiga sampai empat kali lipat bila sudah sampai di mal eksklusif ataupun gerai elite seperti yang ada di Jalan Kemang, Jakarta. ”Setiap bulan kami memasok untuk toko-toko di Citos (Cilandak Town Square), Mangga Dua, Tanah Abang. Juga ke Cirebon, Medan, dan Riau,” kata Deden.

Rantai panjang
Tas kulit cantik yang dipajang di rak itu memiliki perjalanan cukup panjang. Tengoklah ke salah satu rumah yang berada di sekitar gerai HoL. Di situ, para tetangga sedang sibuk memotong lembaran kulit sapi yang didatangkan dari Tangerang, Karawang, dan Cianjur. Sementara pekerja lainnya menggunting dan menjahit sesuai pola yang diminta. Di dalam satu rumah, biasanya ada tiga sampai empat perajin. Saat ini ada lima rumah yang dijadikan tempat produksi.
Para perajin di rumah Suneni siang itu serentak mengerjakan satu desain tas, sejenis tote bag. ”Kalau model seperti ini kebetulan tak sulit, apalagi bahan kulitnya lunak sehingga dalam sehari kita bisa mengerjakan selusin,” ujar Suneni, yang bertugas menjahit.
Para pekerja ini umumnya bekerja dari pukul 08.00 sampai pukul 19.00. Upah yang diperoleh untuk pemotong adalah Rp 40.000-Rp 60.000 per lusin tas jadi. Adapun untuk penjahit sekitar Rp 200.000 per lusin tas jadi.
”Kalau sedang ramai, seminggu bisa dapat Rp 500.000 dan anak-anak (pemotong kulit) sekitar Rp 150.000. Lumayanlah, yang penting bisa makan,” kata Suneni yang memiliki tiga anak, dari yang berpendidikan TK sampai STM.
Setiap harinya para perajin ini memperoleh uang makan Rp 15.000 per orang, sementara untuk akomodasi mereka bisa tinggal di rumah Suneni. ”Kalau ada yang sakit, kami dikasih uang untuk berobat,” tuturnya.
Model tas yang diproduksi HoL biasanya terinspirasi dari berbagai jenis tas yang ada di majalah-majalah wanita. Namun, banyak juga pembeli yang membawa contoh jadi dan kemudian minta dibuatkan replikanya.
Suneni, misalnya, menunjukkan contoh gambar yang harus dikerjakannya. ”Dari semua proses ini, yang paling sulit adalah menjahit dengan benang besar, terutama untuk tas yang bentuknya kotak karena jahitan harus terjaga rapi meskipun bidangnya melengkung,” kata Suneni yang mengaku kontrol kualitas produk cukup ketat. ”Pernah juga tas yang kami produksi dikembalikan,” katanya.
 
Tertolong PKBL
House of Leather mulai memproduksi tas kulit untuk keperluan perorangan pada 1990-an. Pada awalnya, produksi tas hanya mengikuti order yang diminta oleh toko-toko tas di Bandung.
Kemudian, selama dua tahun HoL bekerja sama dengan sebuah toko tas di Bandung dengan cara konsinyasi (titip jual). Namun, tahun 1997-1998 krisis keuangan melanda Indonesia. Produksi pun berhenti.
HoL yang masih memiliki bahan baku kulit kemudian kembali melayani pesanan tas individual. ”Kebetulan kami punya ruangan sedikit di sini, ya, sudah dijadikan saja show room,” kata Deden.
Untunglah tahun 1999 HoL memperoleh bantuan modal dari Pertamina lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan menjadi mitra binaannya sampai sekarang.
”Selain modal, kami juga dibantu promosi. Hasilnya beda banget. Di tahun pertama saja kami sudah diajak
mengisi pameran di Inacraft. Dari sana nama kami mulai dikenal. Order pun meningkat, terutama dari kalangan Dharma Wanita,” lanjut Deden.”
Kini, dalam sebulan HoL bisa menjual rata-rata 100 sampai 150 tas. Pesanan akan melonjak menjelang bulan puasa, bisa sampai 300 tas. Sementara omzet per bulan rata-rata mencapai Rp 20-30 juta. ”Kalau menjelang Ramadan, bisa mencapai Rp 50 juta, tetapi tidak pernah lebih dari itu,” ungkapnya.
(Myrna Ratna/Agus Hermawan)
House Of Leather
Jl. Cikutra 18/148 B (Belakang 320)
Telp. 022-7216995